INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Tiga Tahun UU TPKS: ILRC Desak Penerapan UU untuk Kasus Femisida Seksual

JAKARTA – Tiga tahun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) mendorong penerapan lebih tegas terhadap kasus-kasus femisida seksual (sexual femicide) yang masih kerap luput dari perhatian hukum dan publik.

Dalam rangka peringatan tiga tahun UU TPKS, ILRC merilis hasil monitoring media sepanjang tahun 2024 yang menemukan setidaknya 18 kasus femisida seksual di Indonesia.

Femisida seksual diartikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan dengan kekerasan seksual yang terjadi sebelum, selama, atau setelah pembunuhan, sebagaimana didefinisikan oleh PBB.

“Femisida adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang paling ekstrem, dan femisida seksual adalah salah satu manifestasinya yang sangat brutal namun masih belum banyak dikenali oleh aparat maupun masyarakat,” ungkap Renata Arianingtias, Badan Pengurus ILRC.

Menurut Renata, temuan ini berangkat dari laporan UNODC dan UN Women yang menyebutkan bahwa pada tahun 2023 terdapat sekitar 85.000 perempuan dibunuh secara sengaja, dan 60% di antaranya dilakukan oleh pasangan intim atau anggota keluarga.

Dari hasil monitoring, 67 persen femisida seksual terjadi di ruang publik, seperti kebun, hutan, semak-semak, hingga gubuk di sawah. Sisanya terjadi di ruang privat seperti rumah korban atau pelaku. Korban terbanyak berada pada rentang usia 0–18 tahun dan 18–35 tahun dengan proporsi masing-masing 42%, menunjukkan bahwa anak dan perempuan muda sangat rentan menjadi korban.

Direktur ILRC Siti Aminah Tardi menjelaskan bahwa pelaku paling banyak merupakan teman (38%) dan pacar (29%), yang masuk kategori relasi intim. Cara pembunuhan mayoritas dilakukan dengan kekuatan fisik (39%), diikuti kombinasi kekuatan fisik dan benda sekitar (28%), serta senjata tajam (17%).

Aminah juga mengungkapkan bahwa kekerasan seksual dalam kasus-kasus ini terjadi tidak hanya sebelum korban dibunuh, tetapi juga selama dan bahkan setelah kematian korban.

“Ada korban yang mengalami perkosaan saat tidak sadar hingga saat telah meninggal, yang menunjukkan bahwa tubuh perempuan dianggap objek kekuasaan dan kekerasan,” jelasnya.

ILRC menyayangkan bahwa hingga kini UU TPKS belum digunakan secara maksimal, terutama untuk femisida seksual terhadap anak. Padahal, UU ini menjamin hak korban, keluarga korban, dan anak yang ditinggalkan.

“Negara harus hadir. UU TPKS bisa diintegrasikan dengan KUHP dan UU Perlindungan Anak. Sayangnya, banyak aparat penegak hukum masih belum menghubungkan femisida seksual dengan UU ini,” tegas Renata.

ILRC juga mendesak pemerintah segera mengesahkan peraturan pelaksana UU TPKS, terutama Peraturan Pemerintah tentang Pencegahan, Pelindungan, Penanganan dan Pemulihan (4P), serta RPP Dana Bantuan Korban (DBK) yang akan menjamin pemulihan korban dan keluarga. (*)

Maaf Untuk Copy Berita Silahkan Hubungi Redaksi Kami!