Menunggu Mati di Balik Jeruji: Hari-hari Cemas Terpidana Mati Amma di Lapas Kota Palopo
PALOPO, INDEKSMEDIA.ID — Kehidupan terpidana mati di penjara berjalan dalam ritme yang sangat terstruktur, sunyi, dan penuh pembatasan. Meski kondisi setiap lembaga pemasyarakatan berbeda, satu hal yang hampir pasti dialami para terpidana mati adalah gangguan psikologis yang berat. Vonis mati bukan sekadar hukuman hukum, tetapi juga hukuman mental yang berlangsung panjang.
Penulis: Kahar Iting
Bayang-bayang itu kini menyelimuti Ahmad Yani alias Amma (42), terdakwa kasus pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Feny Ere (FE), yang divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palopo pada Senin (15/12/2025).
Kamis (18/12/2025), Wartawan Indeksmedia.ID menyambangi Amma di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Palopo. Secara fisik, ia tampak segar bugar. Namun, sorot matanya menyimpan kecemasan yang sulit disembunyikan, sebuah kondisi yang kerap disebut sebagai death row syndrome atau sindrom terpidana mati.
Sejak berstatus tahanan kejaksaan hingga divonis mati, Amma menjalani masa penahanan di Lapas Palopo. Ia ditempatkan di ruang isolasi pembinaan, terpisah dari Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) lainnya.
Selain pengawasan ketat dari petugas lapas, Amma juga diawasi langsung oleh dua narapidana lain yang ditempatkan satu sel dengannya.
“Saya cuma merasa cemas dan sedikit stres saja. Hukuman ini mungkin sudah menjadi garis tangan yang Tuhan berikan kepada saya,” ujar Amma singkat, dari balik jeruji besi.
Ia tak banyak berbicara. Jawaban yang disampaikan seperlunya, tanpa ekspresi berlebih. Menurut dua narapidana yang satu sel dengannya, mereka secara bergantian mengawasi setiap gerak-gerik Amma, terutama pada malam hari.
“Kami sedang menjalani pembinaan mental, jadi ditempatkan satu sel dengan saudara Amma. Kami juga diberi tugas untuk saling menjaga,” ujar salah seorang napi.
Kepala Pengamanan Lapas Kelas IIA Palopo, Hartono, menjelaskan bahwa perlakuan terhadap terpidana mati telah diatur secara ketat dalam regulasi pemasyarakatan.
“Interaksi dibatasi, tapi kebutuhan dasar tetap kami penuhi,” kata Hartono.
Menurutnya, sebagian besar waktu terpidana mati dihabiskan di dalam sel. Aktivitas sangat terbatas, dengan rutinitas yang nyaris monoton setiap hari.
“Mereka biasanya berada di dalam sel hingga 23 jam sehari. Waktu keluar hanya sekitar satu jam untuk olahraga di area aman dan terisolasi. Makanan tidak boleh dibawa dari luar, semua diantar langsung oleh petugas ke sel,” jelasnya.
Kunjungan keluarga maupun penasihat hukum juga dilakukan dengan pembatasan ketat, umumnya melalui sekat kaca atau dengan pengawasan langsung petugas.
“Akses buku, surat kabar, atau televisi sangat terbatas dan diawasi. Setiap pemindahan dilakukan dengan prosedur pengamanan, termasuk pemborgolan. Namun, pendampingan rohani dan konseling psikologis tetap tersedia untuk membantu mengelola kecemasan dan tekanan mental,” tambah Hartono.
Segera Dipindahkan ke Makassar
Terkait status penahanan Amma, Hartono menyebut pihaknya telah berkoordinasi dengan Lapas Kelas I Makassar. Sesuai ketentuan, terpidana mati harus ditempatkan di lapas dengan klasifikasi tersebut.
“Dalam waktu dekat, yang bersangkutan akan kami kirim ke Makassar untuk menjalani hukuman sesuai putusan PN Palopo,” tutup Hartono.

