https://www.zeverix.com/

INDEKS MEDIA

Berita Hari Ini Di Indonesia & Internasional

Perjuangan Sang Perempuan Tangkas dari Timur, Opu Daeng Risadju

Opu Daeng Risadju, Perempuan pejuang di Tana Luwu (Kolase/Gus JI)

INDEKSMEDIA.ID — Opu Daeng Risadju dilahirkan di Palopo, Luwu pada tahun 1980.

Nama Opu Daeng Risadju yang sebenarnya adalah Fammajah. Ayahnya bernama Muhammad Abdullah To Bareseng dan Ibunya, Opu Daeng Mawellu.

Opu Daeng Risadju adalah keturunan bangsawan yang diperoleh dari darah kebangsawanan ibunya.

Itu karena ibunya adalah keturunan langsung dari Raja Bone ke-22, La Temmasonge Matimoeri Malimongeng, yang memerintah pada tahun 1749-1775.

Gelar Opu merupakan sebuah titulatur kebangsawanan bagi masyarakat Luwu yang diberikan kepada seseorang yang telah menikah.

Gelar Opu yang diberikan kepada seseorang secara struktur dapat menduduki jabatan dalam birokrasi kerajaan.

Sebagai seorang bangsawan, maka Opu Daeng Risadju memperoleh tempat tersendiri dalam masyarakat seperti para bangsawan lainnya.

Meskipun tidak menduduki posisi strategis dalam jabatan birokrasi, tetapi karena gelar yang disandangnnya itu, maka Opu Daeng Risadju sama dengan para bangsawan lainnya.

Ia terhormat di mata masyarakat, sehinnga inilah yang membuat Opu Daeng Risadju dapat bergerak dengan leluasa serta bisa menemui semua orang dari lapisan mana pun.

Opu Daeng Risadju tidak pernah mengikuti atau menempuh pendidikan secara formal.

Namun sejak kecil ia diajarkan berbagai ilmu agama, seperti ilmu Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balagha dan lain-lain.

Meskipun dasar pendidikan yang diperoleh tidak setinggi ilmu agama yang dipelajari.

Hal ini terjadi karena pandangan masyarakat bahwa seorang perempuan terbatas dalam menempuh pendidikan.

Mereka hanya dianggap cukup jika sudah mampu baca dan tulis huruf latin.

Setelah beranjak dewasa Opu Daeng Risadju dinikahkan dengan seorang ulama dari Bone, H. Muhammad Daud.

Setelah pernikahannya itu, ia kemudian mendapatkan gelar Opu Daeng Risadju (Museum, 2023).

Pada tahun 1905, Belanda melakukan ekspansi militer ke seluruh kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan termasuk di Luwu.

Akibat ekspansi tersebut Opu Daeng Risadju bersama suaminya meninggalkan Palopo dan pindah menetap di Pare-Pare.

Pada tahun 1927 Opu Daeng Risadju mulai aktif dan berperan dalam sebuah organisasi politik yang menentang penjajahan yaitu Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) cabang Pare-Pare (Irham, 2021).

Sekembalinya di Palopo, ia mendirikan cabang PSII yang resmi dibentuk pada 14 Januari 1930 dan ia sebagai ketua PSII cabang Palopo.

Opu Daeng Risadju membesarkan PSII di Palopo dengan menyebarkannya kepada kerabat agar mereka menjadi bagian dari PSII.

Dengan banyaknya anggota PSII lantaran ajakannya itu, pemerintah kolonial semakin khawatir kepada Opu Daeng Risadju.

Dirinya dianggap berbahaya bagi kolonial Belanda karena apabila Opu Daeng Risadju menggerakkan anggota PSII maka kolonial Belanda akan merasa terancam.

Oleh karena itu pihak kolonial Belanda mulai melakukan penekanan terhadap Opu Daeng Risadju.

Penekanan terhadap Opu Daeng Risadju tidak hanya dilakukan oleh kolonial Belanda, tetapi juga kerajaan Luwu melakukan penekanan karena terikat oleh Korte Wolkraing dengan pemerintah Belanda yang menyuruhnya untuk menghentikan kegiatan politiknya.

Namun ia tetap pada pendiriannya untuk menjalankan aksi politiknya.

Akibatnya kerajaan Luwu mencabut gelar kebangsawanannya menjadi  “Indok”, berarti ibu, yang diidentikkan dengan rakyat biasa.

Salain tekanan terhadap dirinya, suaminya pun dibujuk agar mau menghentikan kegiatan politiknya.

Karena tekanan dari kerajaan Luwu, Akibatnya mereka harus bercerai dibandingkan harus meninggalkan kegiatan politiknya. (biografi opu daeng risadju, t.thn.)

Di tahun 1933, Opu Daeng Risadju pergi ke Jawa dalam rangka kegiatan kongres PSII dan menggunakan biaya pribadi dengan cara menjual kekayaan yang dimilikinya.

Kedatangan Opu Daeng Risadju ke Jawa mendapat respon yang kurang baik dari kerajaan Luwu.

Kemudian, Opu Daeng Risadju kembali dipanggil oleh pihak kerajaan. Ia dianggap telah melakukan pelanggaran oleh Dewan hadat yang pro terhadap kolonial Belanda.

Tidak lama berselang Opu Daeng Risadju dihadapkan pada sebuah pengadilan adat karena dianggap telah melanggar hukum (Majulakkai Pabbatang).

Anggota Dewan hadat yang pro Belanda itu meminta agar Opu Daeng Risadju dijatuhi Hukuman, dibuang atau diselong.

Akan tetapi Opu Balirante membela Opu Daeng Risadju dan menolak hukuman tersebut, sehingga Opu Daeng Risadju dijatuhi hukuman penjara selama 13 bulan

Selama dipenjara, Opu Daeng Risadju disuruh mendorong gerobak, bekerja membersihkan jalan di tengah-tengah Palopo.

Setelah menyelesaikan masa hukumannya, Opu Daeng Risadju kemudian ke Luwu Timur, tepatnya di Malili dan mengadakan propganda, juga berusaha mendirikan ranting PSII yang baru bersama dengan suaminya.

Tetapi, di saat Opu Daeng Risadju melakukan rapat di distrik Patampanua, Opu Daeng Risadju ditangkap bersama suaminya kemudian ia dirantai dan dibawa ke Palopo.

Pada tahun 1935 Opu Daeng Risadju yang kedua kalinya keluar dari penjara.

Saat itu kerajaan Luwu berada di tengah perpecahan karena Datu Luwu, Andi Kambo wafat dan beberapa pihak terutama dari Belanda ingin menduduki jabatan tersebut.

Akan tetapi menurut adat kerajaan Luwu, yang berhak menggantikan Almarhum Andi Kambo adalah putra pertamanya, Andi Djemma.

Namun pihak Belanda tidak menyukai Andi Djemma lantaran punya sifat nasionalis dan memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh PSII yang pro pada perjuangan Opu Daeng Risadju.

Melihat karakter Andi Djemma yang memiliki sifat nasionalis, maka Belanda selalu berusaha agar Andi Djemma tidak terpilih menjadi Datu dengan cara menuduhnya mengambil khas kerajaan untuk kepentingan pribadi.

Kondisi kerajaan pada saat itu semakin memanas. Dalam kondisi ini, Opu Daeng Risadju menggunakan kesempatannya untuk menyeru kepada rakyat agar Andi Djemma yang terpilih menjadi Datu Luwu. Hal itu pun disambut baik oleh masyarakat.

Dengan terpilihnya Andi Djemma sebagai Datu Luwu, maka PSII semakin berkembang di tanah Luwu di bawah kepemimpinan Opu Daeng Risadju, sampai dengan berakhirnya masa penjajahan Belanda dan awal kedatangan bangsa Jepang pada tahun 1942 (Gosse, 2021).

Padat tanggal 9 Februari 1942, Jepang melakukan pendaratan di Makassar, Sulawesi Selatan, yang kemudian menyebar kebeberapa daerah termasuk Tana Luwu.

Hadirnya tentara Jepang di Tana Luwu membuat semangat Opu Daeng Risadju semakin berkobar untuk melakukan perlawanan atas penjajahan di daerahnya.

Namun setelah Jepang menyerah kepada tentara sekutu, ternyata NICA ikut  memanfaatkan kedatangan tentara sekutu di Tana Luwu

Di tahun 1946, pemuda melakukan penyerangan terhadap tentara NICA tetapi tentara NICA kemudian melakukan serangan balik kepada Opu Daeng Risadju yang menyebabkan beberapa pemuda pribumi gugur.

Opu Daeng Risadju karena keberaniannya melawan tentara NICA, dirinya pun menjadi incaran nomor satu oleh NICA.

Adapun upaya yang dilakukan NICA untuk menangkap Opu Daeng Risadju yaitu dengan mengumumkan kepada masyarakat yang mirip dengan sayembara.

Tentara NICA mengumumkan bahwa “Barang siapa yang dapat menemukan Opu Daeng Risadju baik dalam keadaan hidup maupun mati maka akan diberi hadiah”.

Akan tetapi tidak seorang pun yang mau memberitahukan keberadaan Opu Daeng Risadju.

Selama pencarian, Opu Daeng Risdaju bersembunyi dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Tetapi akhirnya Opu Daeng Risadju ditemukan di daerah Latonro.

Pada saat penyerangan, Opu Daeng Risadju ditangkap dan disuruh berjalan kaki sejauh 40 km menuju Watampone.

Di Kota itu ia dipenjara selama satu bulan lalu dibawa ke Sengkang dan dipulangkan ke Bajo.

Belum puas, tentara NICA kemudian menyiksa Opu Daeng Risadju dengan membawa ke tengah lapangan dan berdiri di sana menghadap matahari.

Selain itu ia juga ditembak di bagian pundak dan membuatnya jatuh tersungkur.

Usai itu, Opu Daeng Risadju dibawa ke penjara bawah tanah dan dipenjara selama 11 bulan tanpa diadili.

Dalam masa tahanan tersebut Opu Daeng Risadju mengalami berbagai penyiksaan yang membuat pendengarannya tidak berfungsi seumur hidup.

Setelah pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia pada 1949, Opu Daeng Risadju pindah ke Pare-pare bersama putranya H. Abdul Kadir Daud.

Sejak tahun 1950, Opu Daeng Risadju tidak lagi aktif di PSII, ia hanya menjadi sesepuh dari organisasi tersebut.

Tatkala putranya meninggal, Opu Daeng Risadju kembali ke Palopo dan berpulang ke rahmatullah pada 10 Februari 1964. Jasadnya kemudian dimakamkan di Lokke, makam para raja Luwu (Keppres No. 085/TK/TH. 2006, 2006)

Referensi:

Biografi opu daeng risadju. (n.d.). Retrieved from repository.uinbanten.ac.id.
Gosse, S. (2021). uun-halimah.blogspot.com. Retrieved from https://uun-halimah.blogspot.com: https://uun-halimah.blogspot.com/2007/12/perjuangan-opu-daeng-risaju-di-sulawesi.html
Irham, M. (2021, november 10).Tribun Timur.

Retrieved from timur.wiki.tribunnews: https://tribuntimurwiki.tribunnews.com/2021/11/10/kisah-opu-daeng-risaju-yang-rela-lepas-pin-bangsawan-demi-lawan-penjajah-belanda?page=all

Keppres No. 085/TK/TH. 2006. (2006). ikatan keluarga pahlawan nasional indonesia. Retrieved from kpni.or.id: http://ikpni.or.id/pahlawan/opu-daeng-risadju/
Museum. (2023, 1 friday). dinas kebudayaan (kundha kebudayan). Retrieved from budaya.jogjaprov.go.id: https://budaya.jogjaprov.go.id/berita/detail/1358-opu-daeng-risaju-pejuang-wanita-asal-sulawesi
Museum. (2023, 01). Opu Daeng Risadju Pejuang Wanita Asal Silawesi. Diambil kembali dari Dinas Kebudayaan (Kundha Kebudayaan).

Penulis: Andi Asmara Putra

Artikel ini merupakan kontribusi dari lomba penulisan budaya yang diselenggarakan indeksmedia.id.

Disclaimer: Indeksmedia.id  tidak bertanggung jawab atas isi konten. Kami hanya menayangkan opini yang sepenuhnya jadi pemikiran narasumber. (*)

Maaf Untuk Copy Berita Silahkan Hubungi Redaksi Kami!