Pasang Surutnya Perjuangan Opu Daeng Risadju
Mengingat kedua sangat berbahaya, maka mereka segera diantar ke Palopo dengan pengawalan yang ketat oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Tepatnya pada 17 Maret 1932 beliau meninggalkan Kolaka menuju ke Palopo dengan menumpang Kapal Laut.
Dengan dalil orangnya sangat berbahaya dan berbagai pertimbangan dalam perjalanan laut, sehingga diputuskan untuk memborgol (dirantai) kedua tangannya.
Mendengar perlakuan colonial belanda terhadap opu daeng risadju bersama suaminya yang dirantai, maka kabar itu sangat menggemparkan Pemangku Adat Luwu, salah satunya opu Balirante yang masih mempunyai hubungan darah Opu Daeng Risadju.
Beliau tergugah atas perlakuan dan penghinaan terhadap Opu Daeng Risadju, karena seorang bangsawan tinggi yang di perlakukan demikian itu sangat tidak wajar.
Maka opu balirante melakukan protes keras kepada Pemangku Adat Luwu dan Pemerintahan Kolonial Belanda dengan suatu ancaman:
“Apabila Opu Daeng Risadju bersama suaminya mendarat di Palopo dengan tangan dirantai, maka saya akan meletakkan jabatan”.
Atas ancaman Opu Balirante tersebut, sehingga tangan Opu Daeng Risadju bersama tangan suaminya dilepaskan rantainya ketika akan menginjak kaki di daratan Palopo atau pinggiran Tanjung Ringgit Palopo.
Sewaktu beliau berada di Palopo, beliau mendapat berbagai rintangan baik dari Pemerintahan Kerajaan Luwu beserta Pemangku Adatnya, seperti ketika Opu Daeng Risadju dipanggil ke Istana untuk menghadap Datu dan para Anggota Adat.
Artikel ini merupakan kontribusi dari lomba penulisan budaya yang diselenggarakan indeksmedia.id dengan tema “Menumbuhkan Budaya Mentradisikan Literasi.”
Disclaimer: Indeksmedia.id tidak bertanggung jawab atas isi konten. Kami hanya menayangkan opini yang sepenuhnya jadi pemikiran narasumber. (*)

