Perjuangan Sang Perempuan Tangkas dari Timur, Opu Daeng Risadju
Penekanan terhadap Opu Daeng Risadju tidak hanya dilakukan oleh kolonial Belanda, tetapi juga kerajaan Luwu melakukan penekanan karena terikat oleh Korte Wolkraing dengan pemerintah Belanda yang menyuruhnya untuk menghentikan kegiatan politiknya.
Namun ia tetap pada pendiriannya untuk menjalankan aksi politiknya.
Akibatnya kerajaan Luwu mencabut gelar kebangsawanannya menjadi “Indok”, berarti ibu, yang diidentikkan dengan rakyat biasa.
Salain tekanan terhadap dirinya, suaminya pun dibujuk agar mau menghentikan kegiatan politiknya.
Karena tekanan dari kerajaan Luwu, Akibatnya mereka harus bercerai dibandingkan harus meninggalkan kegiatan politiknya. (biografi opu daeng risadju, t.thn.)
Di tahun 1933, Opu Daeng Risadju pergi ke Jawa dalam rangka kegiatan kongres PSII dan menggunakan biaya pribadi dengan cara menjual kekayaan yang dimilikinya.
Kedatangan Opu Daeng Risadju ke Jawa mendapat respon yang kurang baik dari kerajaan Luwu.
Kemudian, Opu Daeng Risadju kembali dipanggil oleh pihak kerajaan. Ia dianggap telah melakukan pelanggaran oleh Dewan hadat yang pro terhadap kolonial Belanda.
Tidak lama berselang Opu Daeng Risadju dihadapkan pada sebuah pengadilan adat karena dianggap telah melanggar hukum (Majulakkai Pabbatang).
Anggota Dewan hadat yang pro Belanda itu meminta agar Opu Daeng Risadju dijatuhi Hukuman, dibuang atau diselong.
Akan tetapi Opu Balirante membela Opu Daeng Risadju dan menolak hukuman tersebut, sehingga Opu Daeng Risadju dijatuhi hukuman penjara selama 13 bulan
Selama dipenjara, Opu Daeng Risadju disuruh mendorong gerobak, bekerja membersihkan jalan di tengah-tengah Palopo.
Setelah menyelesaikan masa hukumannya, Opu Daeng Risadju kemudian ke Luwu Timur, tepatnya di Malili dan mengadakan propganda, juga berusaha mendirikan ranting PSII yang baru bersama dengan suaminya.
Tetapi, di saat Opu Daeng Risadju melakukan rapat di distrik Patampanua, Opu Daeng Risadju ditangkap bersama suaminya kemudian ia dirantai dan dibawa ke Palopo.
Pada tahun 1935 Opu Daeng Risadju yang kedua kalinya keluar dari penjara.
Saat itu kerajaan Luwu berada di tengah perpecahan karena Datu Luwu, Andi Kambo wafat dan beberapa pihak terutama dari Belanda ingin menduduki jabatan tersebut.

