Mengenal Tari Raigo Khas Sulawesi Tengah
INDEKSMEDIA.ID – Sulawesi Tengah kaya akan tradisi yang tersebar di 12 etnik yang tersebar di seluruh wilayahnya, dan satu di antara banyak kesenian tersebut adalah kesenian Raigo.
Raigo sebagai tarian tradisional dipercaya masyarakat pendukungnya lahir dan berkembang lewat proses mitos yang diwujudkan dalam bentuk ritus dengan gerakan dan ungkapan yang bernilai sakral sehingga sering menyertai pelaksanan upacara adat khususnya dalam upacara syukur panen padi dan beberapa upacara tradisional lainnya.
Raigo hidup dan berkembang dalam masyarakat Sulawesi Tengah khususnya pada suku bangsa Kulawi dengan sebutan Raego, Kaili menyebut Rego dan Bada menyebut Raigo.
Tarian yang menggambarkan suatu kemenangan dalam usaha, kegembiraan serta pengungkapan rasa syukur atas hasil panen yang menggembirakan kemudian ditarikan dalam gerakan dan ungkapan dalam bahasa daerah yang berisikan pemujaan terhadap sang pencipta.
Tarian Raigo terdapat dalam beberapa jenis salah satunya adalah raigo mpae (raigo = tari dan mpae = padi) atau juga disebut raego vunja karena keterkaitannya dengan upacara vunja.
Jadi Raigo mpae atau raigo vunja adalah suatu tarian tradisional Sulawesi Tengah dalam rangkaian upacara vunja menurut irama yang menurut irama yang digerakkan oleh orang-orang yang sedang mengembangkan suatu daya dan semangat yang mempunyai arti sosial dan juga kepercayaan terhadap Sang Pencipta.
Tarian ini bukan hanya semata-mata sebuah bentuk kesenian (hiburan) namun tarian ini tidak dapat terlepas dari beberapa pelaksanaan upacara adat di wilayah Kulawi atau pun di Lembah Bada.
Untuk mendukung pelaksanaan tarian ini, maka tercipta pula lantunan syair-syair dalam vokal yang berisi pesan moral kepada yang mendengarkannya serta beberapa kelengkapan pendukung lainnya yang juga memiliki makna simbolik terhadap upacara ritualnya.
Perwujudan raego melalui syair-syairnya serta fungsi dan kedudukannya pada masyarakat, merupakan bagian dari ungkapan budaya yang dilatarbelakangi oleh emosi religi dan upacara adat yang dapat ditemukan di semua suku di Indonesia.
Oleh karena tidak semua suku memiliki sarana komunikasi dalam bentuk tulisan, maka kesinambungan pewarisannya hanya tertumpu pada informasi lisan yang tidak sistematis sehingga memiliki kelemahan dan keutuhannya dari generasi ke generasi.
Pada umunya pelaksanaan berbagai upacara adat, khususnya yang berkaitan dengan Raigo pada Suku Kulawi, masih terus dilaksanakan para orang tua (totua ngata) sampai anak-anak muda.
Kenyataan ini menjadikan masyarakat luar dapat mendengarkan syair-syair raego melalui vokal yang saling sahut menyahut sekaligus menjadi pengiring bagi tarian itu sendiri.
Syair-syair tersebut memiliki makna terhadap pelaksanaan upacara adat serta melihat lebih dalam fungsi dan kedudukannya pada masyarakat setempat.
Suku Kulawi sebagai pemilik budaya Raigo tidak mengenal tulisan, sehingga pewarisan budaya hanya dapat dilakukan secara lisan dan peniruan tingkah laku yang keseluruhannya mengandalkan ingatan belaka.
Tidak semua lapisan masyarakat Suku Kulawi memiliki kesempatan untuk memperoleh bekal pengetahuan dan keterampilan dalam pelaksanaan Raigo.
Dengan demikian, hanya beberapa anggota masyarakat berusia lanjut yang menjadi pelaku upacara ini.
Anggapan bahwa raego hanya diperuntukan untuk para totuangata (orang yang sudah berumur), menyebabkan pengetahuan dan keterampilan melakukan tarian ini hanya terbatas pada generasi yang mengalami tarian ini (pelaku) yang jumlahnya sangat kurang dan tidak lagi merata pada semua lapisan masyarakat di daerah Kulawi. (*)